- D1CFC69F8254E8A04BABE3A7D6A06ABF Makalah Ushul Fiqih Madzhab Sahabi dan D’zariah | tm-rahasia jQuery(document).ready(function(){ jQuery("[href$='css_bundle.css']").remove(); });

Makalah Ushul Fiqih Madzhab Sahabi dan D’zariah

Posted By anam on 28 January 2013 | January 28, 2013


 

BAB I
PENDAHULUAN


 

A.Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan apa yang penulis harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, yang tentunya merupakan satu-satunya nabi yang dapat member syafaat kepada umat manusia. Dan mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat. Amin Dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang sesuatu yang berkaitan dengan metode memproduk hukum islam, yang selama ini kita ketahui bahwa para ulama' dalam setiap mengeluarkan produk hukum pasti menggunakan metode yang berbeda-beda. Meskipun para ulama' berbeda dalam metode yang mereka gunakan, tetapi yang menjadi sumber utama tetap sama yaitu Al-qur'an dan As-sunnah. Salah satu metode yang di gunakan oleh para ulama' yaitu Madzhab Shahabi. Yang merupakan salah satu dari sekian metode yang telah digunakan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang Madzhab Shahabi ini meliputi dari segi pengertian dan dari segi kehujahannya.

B. Rumusan masalah

  1. Pengertian madzhab sahabi
  2. Siapa yang di sebut madzhab sahabi
  3. Kehujjahan madzhab sahabi
  4. Pengertian Dzari'ah
  5. Saad Dzari;ah
  6. Macam- macam Dzari'ah
  7. Kehujjahan Dzari'ah
  8. Fath al- Dzari'ah


 


 


 

BAB II

PEMBAHASAN


 

A.    Pengertian Madzhab Shahabi

Madzhab Shahabi berarti "pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan "pendapat sahabat" ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma  para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil?[1]

Setelah Rasulullah wafat, maka tampilah untuk memberi fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqh dan ilmu, dan merekalah yang telah lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-Qur'an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa mengenai beberapa macam peristiwa. Sebagian para tabi'in di antara para tabi'in dan tabi'in-tabi'in telah telah memeperhatikan periwayatannya, sehingga diantara mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul.

Ringkasan pembicaraan dalam judul ini, adalah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi umat Islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: "Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun".[2]


 


 

Contoh ini tidak dapat menjadi tempat ijtihad dan pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah, sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka termasuk Sunnah, sekalipun pada lahirnya ialah dari sahabat.

Dan tidak ada perselisihan juga bahwa ucapan sahabat yang yang tidak diketahui dari kalangan sahabat lain adalah yang menentang, adalah juga hujjah bagi umat Islam, karena kesepakatan mereka atas hukum menegani suatu peristiwa, dengan dasar atas dekatnya waktu mereka bertemu dengan Rasul dan atas dasar pengetahuan mereka terhadap rahasia-rahasia pembentukan hukum, juga atas dasar perselisihan mereka dalam beberapa peristiwa selain peristiwa tersebut, adalah sebagai dalil atas bersandar mereka kepada dalil yang pasti. Hal ini seperti ketika meraka telah sepakat atas pembagian waris kepada nenek-nenek perempuan dengan bagian 1/6 (seperenam), maka itu adalah hukum yang wajib diikuti, dan dalam masalah itu tidak diketahui ada perselisihan antara umat Islam.

B.     Siapa yang disebut dengan Sahabat?

Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama usul fiqh, adalah "seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan  beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Adapula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan "orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.

C.    Kehujahan Madzhab Shahabi

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara', baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hokum


 


 

Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma' sahabat jelas, atau ijma' sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan simayat (pewaris). Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya? Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Qaul Qaddim Imam Al-Syafi'i dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan.

 Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59.


$pkšr'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
͐öDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrŠãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
̍ÅzFy$#
4
y7ÏsŒ
׎öyz
ß`|¡ômr&ur
¸Írù's?
ÇÎÒÈ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah SAW. Itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat. Selanjutnya Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW.,


 


 

bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting. Sebagian ulama Syafi'iyyah, Jumhur al-Asya'irah, Mu'tazilah dan Syi'ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama denga ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan salah dalam melakukan ijtihad.,Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam menetapkan hukum pada suatu kasus.

Imam Al-Ghazali mengatakan, "Terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma'shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar Bin 'Umar ibn Khathab membiarkan saja orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing".

Akan tetapi, Imam al-Syafi'I, menurut Mushthafa Dib al-Bugha, banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma' yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma' yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi'I mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat ibn 'Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini Imam al-Syafi'I mengatakan pendapat ibn 'Abbas lebih dekat kepada al-Qur'an dan qiyas, Imam al-Syaafi'I juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn 'Affan tentang hilangnya kewajiban shalat jum'at apabila bertepatan dengan hari raya 'Idul Fitri atau 'Idul Adha.


 


 


 

Tidak diketahui pendapat sahabat lain-setuju atau tidak-berkaitan dengan pendapat Utsman ibn 'Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi'iyyah.

Ulama Hanifiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat para sahabat yang populer (tersebar luas) dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujui pendapat tersebut, serta pendapat sahabat yang didasarkan kepada ijtihad tetapi tidak populer.

Apabila pendapat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, menurut ulama Hanafiyyah, pendapat itu dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara'. Alasan mereka adalah, dalam permasalahan yang tidak boleh dilakukan ijtihad, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap permasalahan itu. Juga diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah SAW. Pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah SAW. Terhadap perbuatan para sahabat).

Terhadap pendapat sahabat yang didasarkan kepada hasil ijtihad mereka dan pendapat tersebut tersebar luas dikalangan sahabat serta tidak diketahui ada sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, pendapat sahabat dalam kategori kedua ini sama statusnya dengan ijma' sukuti (kesepakatan yang terbentuk dari pendapat seorang mujtahid sedangkan mujtahid lainnya tidak membantah atau diam saja). Ulama Hanafiyyah berprinsip bahwa ijma' sukuti dapat dijadikan hujjah alam menetapkan hukum syara'. Misalnya, pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan nenek sebanyak seperenam harta waris.


 


 


 


 


 

D .Pengertian Dzari'ah,

    Dzari'ah ditinjau dari segi bahasa adalah "jalan menuju sesuatu". Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari'ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Aj-Zauziyah yang menyatakan bahwa dzari'ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dzari'ah terbagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari'ah dan fath adz-dzati'ah.II.

 
 

E.  Pengertian Sadd Adz-zariah

Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.


 


 


 

Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah. Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:

a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.

b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.

c. Perbuatan yang dibolehkan syara' mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.


 

F .Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.

A.. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan

Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:

a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.

b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang. Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang


 


 

dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.

c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.

d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.

B. Adzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan


Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.

2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan


 


 

dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.

3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.

4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

G . Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah

Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara' ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara'. Alasan mereka antara lain: Firman Allah dalam surat Al An'am:

ôs%
Nä.uä!%y`
ãÍ¬!$|Át/
`ÏB
öNä3În/§
(
ô`yJsù
uŽ|Çö/r&
¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù
(
ô`tBur
}ÏJtã
$ygøŠn=yèsù
4
!$tBur
O$tRr&
Nä3øn=tæ
7áÏÿpt¿2
ÇÊÉÍÈ

Artinya : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka Barangsiapa melihat (kebenaran itu), Maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan Barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), Maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).


 


 


 


 

mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT. Dan firmannya lagi:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَابَقَوْلُوْا رَاعِنَا وَقُلُوْا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا...Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah." Tuhan melarang kum mukmin berkata kepada Rasulullah SAW,raa'ina. Lantaran orang yahudi menjadi kata-kata itu sebagai meda untuk mengejek Rasulullah SAW. Dengan mengertikan kata-kata itu menurut pengertian bahasa mereka.Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasulullah "Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,"wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab"seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadahdari orang yang brhutang untuk menghindarkan terjerumus dalamperaktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kauss lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya(HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan. Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan. Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi'iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagaiii dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi'I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum'at.


 


 


 

  1. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi'I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah. Menurut Husain Hamid , salah seoang guru besar Ushul Fiqh fakultas hokum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan munscul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi. Dalam memandang dzariah, aa dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul: Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara'.
  2. . Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
    Perbedaan antara Sydfi'iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi'iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun maalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
    "patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
    Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah: "yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan). Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetappi ada perhitungan a ntara Alah dan pelaku,


     


     


     


     


     

  3. karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara' maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara', maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan huku sayara' dal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.

H. Fath Adz-Dzariah

Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah. Misalnya meniggalkan segalaaktivits untuk melaksanakan shalat Jum'at yang hukumnya wajib. Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juahili yang menyatakan bahwa pebuatan seperti di atas tiak termasukkepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang huumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah: Apabila suatu perbutan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib. Begitu pula segala jalan yang menunjuk kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itupun haram sesuai dengan kaidah. Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram. Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihatnya, karena hal itu akan memabawa perbuatan haram yaitu zina, menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrim ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).


 


Para ulama telah sepakat tentang adanya hokum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syfi'iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddima, tidak termasuk sebagai akidah dzariah, namun nereka sepakat bahwa dalam itu biasa dijadikan sebagai hujjah alam menetapkan hukum.



                BAB III

                PENUTUP

 
 

  • KESIMPULAN
    Dari penjelasan mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan madzhab shahabi adalah perkataan shahabat Rasulullah saw, mengenai suatu masalah yang hukumnya tidak didapatkan dalam Al-Qur'an maupun As-sunnah. Dan mengenai kehujahannya terdapat sebagian ulama' yang menerima madzhab shahabi dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada juga sebagian ulama' yang menolak atas kehujjan madzhab shahabi. Dan mungkin berbedaan tersebut sangatlah wajar karena dilihat dari persepektif sudut pandang yang berbeda-beda dan tentunya dengan alasan yang berbeda-beda pula.

 Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.


 


 


 


 


Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi

jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.


 


 


 

Blog, Updated at: January 28, 2013

0 comments:

Artikel Pilihan

Social Media

Search This Blog

Kisah Nabi Shaleh AS dan MUKJIZATNYA UNTA BETINA

Nabi Saleh As adalah nabi dan rasul kelima yang patut diimani. Nabi Saleh berdakwah di Al-Hijr yang saat ini dikenal sebagai Madain Shalih,...